Persiapan Mental Menikadi Gadis Minang
Merantau adalah pola migrasi yang telah
membudaya bagi orang Minangkabau. Statistik menunjukkan, jumlah orang
Minang yang ada di perantauan lebih banyak daripada orang Minang yang
ada di kampung halaman.
Bagi bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, dan
mbak-mbak yang pernah membaca novel “Negeri 5 Menara” akan merasakan
ekspektasi semangat merantau yang mengalir dalam darah seorang anak
Minang.
Memang tidak bisa dipukul rata, semua wanita minang, atau cewek Padang itu begitu, tapi mau tidak mau pengaruh adat sangat kental bahkan di luar kendali si wanita itu sendiri.
Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba
mengelaborasi satu hal yang seringkali penulis bincangkan dan temui
terkait fenomena laki-laki Minang (biasanya yang meneruskan studi di
Jawa) yang menikah dengan perempuan non Minang. Di era serba canggih
saat ini dan geliat multikultur telah massif dalam masyarakat, tentu
terasa naif jika membicarakan persoalan ini.
Namun, ada hal menarik yang hendak
penulis sajikan kepada pembaca. Penulis pernah mendapati sebuah
pernyataan bahwa, “bagi mahasiswa Minang yang sudah lulus kuliah,
termasuk mendzolimi orang tua jika membawa gadis Jawa atau gadis non
Minang lainnya ke kampung halaman”. Artinya, termasuk perbuatan nista
jika seorang laki-laki Minang yang sudah berhasil menjadi sarjana dari
perguruan tinggi di rantau dan telah bekerja, mengandeng gadis non
Minang sebagai istri.
Arus pemikiran ini beranjak dari pola
pikir, termasuk tindakan tak tahu balas budi jika sudah susah-susah
dibayarin untuk studi, tapi akhirnya benih yang telah ditunai tak
kembali ke kampung halaman. Menikahi gadis non Minang, bagi sebagian
orang tua Minang merupakan sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Ada
anggapan, beralih ke lain etnis sendiri sama saja memutus silaturrahim
dan tindakan tak cinta kampung halaman.
Beberapa pemuda yang tak kuasa menahan
celaan dari orang tua dan pihak keluarga, akhirnya memilih meninggalkan
pacarnya yang non Minang, padahal boleh dikatakan mereka telah menjalin
hubungan sekian tahun dan telah menemui kecocokkan satu sama lain. Cuma
tak kuat dengan sanksi budaya yang diancamkan, merekapun terpaksa
melepas pacarnya dan mencari gadis Minang sesuai dengan keinginan orang
tua dan keluarga.
Fenomena ini pada masa lalu, lebih parah
lagi. Pemuda rantauan yang kepincut dengan gadis tempat ia belajar dan
mencari nafkah terpaksa meninggalkan istrinya, karena ketika pulang
kampung dipaksa mamak untuk menikah dengan gadis Minang yang telah
dipersiapkan. Istri pertama kemudian ditelantarkan. Atas dasar itulah,
banyak gadis non Minang (biasanya gadis Jawa) yang merasa kecewa dengan
pemuda Minang dan timbul pameo “Padang Bengkok”.
Beralih kepada latar belakang, kenapa
pemuda Minang lebih memilih perempuan Jawa atau etnis yang lain sebagai
istri? Berdasarkan dialog penulis dengan beberapa kakak-kakak yang
memilih jalur menikah gadis non Minang, selain latar belakang sudah
kadung cinta, ternyata ada motif traumatik. Biasanya traumatik ini
terkait dengan masalah harta.
Garis pewarisan yang disusun atas dasar
alur matrilineal, telah menjadikan posisi perempuan di atas laki-laki.
Mereka berhak atas harta warisan dari kaum. Tidak dengan laki-laki yang
tak berhak secuilpun atas harta warisan keluarga besar. Yang menjadi
persoalan bukanlah aturan yang membuat laki-laki tak mendapat bagian.
Namun, persoalan timbul ketika sang laki-laki sukses secara materi, maka
pihak keluarga istri cendrung mengklaim pencarian suami-istri itu
sebagai harta milik kaum yang tentunya menjadi otoritas kepemilikan
perempuan. Sehingga tak jarang terjadi pertengkaran antara suami dan
pihak keluarga istri terkait masalah harta ini. Sampai-sampai rela
memutuskan hubungan tali darah hanya karena harta.
Di sisi lain, terlihat kecendrungan
pembelaan dan campur tangan yang berlebihan dari pihak keluarga istri
terkait persoalan-persoalan internal pasutri. Sehingga sangat sedikit
ruang bagi laki-laki untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami.
Otonomi pasutri diobok-obok oleh pihak keluarga perempuan yang tak
jarang semakin memperkeruh suasana.
Harta memang bukan segalanya. Tapi
kecendrungan materialistis telah mengoyak sendi-sendi Islam yang diklaim
sebagai panutan dalam budaya Minang. Tulisan ini hanyalah sebuah auto
kritik dan mengingatkan kepada orang tua Minang agar tak menganggap
pemuda-pemuda Minang yang menikahi gadis non Minang sebagai anak durhaka
seperti Maling Kundang…
0 Comments:
Please give a good comment, that good suggestion, no spam, phising, no gamling, no porn, no add link.