Selayang Pandang Harta Perkawinan Dalam Perkara Kepailitan
Perkawinan adalah ikatan yang menyatukan dua insan manusia berbeda jenis kelamin dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda. Penyatuan tersebut umumnya bukan hanya penyatuan yang bersifat abstrak, tetapi juga bersifat nyata , yakni harta. Karena itu, dalam perkawinan, dikenal istilah “harta perkawinan.” Biasanya harta perkawinan tersebut terdiri dari : 1. Harta Bawaan, 2. Harta Bersama, dan 3. Harta Perolehan. Adapun yang dimaksud dengan harta bawaan adalah harta yang sudah dimiliki oleh suami atau istri, sebelum perkawinan. Besar, jenis dan jumlahnya diatur oleh masing-masing pihak, selama tidak ditulis dalam perjanjian kawin. Karena harta ini dimiliki sebelum kawin, maka masing-masing pihak memiliki hak sepenuhnya. Misal kan Suami punya rumah, sebelum perkawinan. Kalau suami mau jual rumah tersebut , tidak perlu persetujuan dari pihak isteri. Demikian juga sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Karena diperoleh setelah perkawinan, maka pengaturannya diatur secara bersamasama antara suami dan istri. Harta bersama ini sering kali disebut dengan harta gono gini. Misal suami dan istri membeli rumah pertama setelah menikah, maka rumah tersebut termasuk harta bersama (harta gono gini). Boleh ga suami jual rumah tersebut? boleh saja, setelah ada persetujuan dengan istri. Dan terakhir yang dimaksud dengan harta perolehan adalah harta yang diperoleh karena adanya hadiah, waris atau hibah. Pengaturannya diatur oleh masing-masing pihak. Contoh istri mendapat warisan dari ibu kandungnya sebuah rumah. Nah rumah itu harta perolehan yang didapat istri dan menjadi hak istri. Suami tidak boleh ganggu gugat harta tersebut, kecuali diatur dalam perjanjian perkawinan tersendiri. Jadi isteri dapat menjual rumah tersebut tanpa persetujuan suami.
Ketentuan mengenai harta perkawianan tersebut diatur di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tepatnya Pasal 35 yang berbunyi sebagai berikut :
1) . Harta benda di peroleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing- masing suami dan istri dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah kekuasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Lalu lebih lanjut diatur di dalam Pasal 36 Undang-undang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :
(1). Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Lalu bagaimana bila suami adalah seorang penguasa yang jatuh pailit ? Halmana para Kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mempailitkan usaha suami ? Bagaimana dengan nasib daripada harta perkawinan tersebut ?
Berbicara kepailitan, tentu tidak terlepas dari Undang-undang kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 21 jo Pasal 22 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa : Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan, yang meliputi :
a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
c. uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.
Selain itu, Pasal 23 dalam Undang-undang aquo juga menyatakan bahwa : Debitor Pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta.
Persatuan harta yang dimaksud dalam Pasal tersebut tentunya adalah harta perkawinan yang terjadi karena adanya Perkawinan. Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, harta perkawinan tersebut terbagi atas tiga macam, harta bawaan, harta bersama dan perolehan. Yang menjadi pertanyaannya adalah harta yang mana yang dapat ikut dipailitkan menurut undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 ? Hal semacam ini tentu harus dipahami oleh Debitor pailit, mengingat ketentuan Pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang berbunyi sebagai berikut : Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Sekilas, pasal aquo memberikan kesan bahwa seluruh harta yana ada dalam perkawinan tersebut ikut di pailitkan.
Akan tetapi, sebenarnya tidak demikian. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tnetang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, secara rinci dan jelas telah memisahkan tiga macam harta perkawinan, sehingga dapat diketahui dengan pasti harta mana yang dapat ikut di pailitikan dan harta mana yang tidak dapat di pailitkan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam Pasal 62 ayat Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi sebagia berikut : “Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit maka istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.” Sehingga apabila merujuk kepada Pasal tersebut diatas, yang dapat ikut dipailitkan adalah harta bersama yang dihasilkan oleh suami maupun isteri selama masa perkawinan, sedangkan harta bawaan dan harta perolehan tidak ikut dipailitkan.
Bahwa dalam Pasal 62 ayat 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut. Halmana bila merujuk kepada Pasal aquo maka isteri dapat menjadi “Kreditor” suami dalam Perkara Kepailitan, apabila ada harta yang terutang oleh Pihak Suami selaku “Debitor.” (baik harta pribadi yang bersumber dari harta bawaan maupun harta perolehan dalam perkawinan).
Dengan demikian, jelaskan lah bahwa dalam perkara Kepailitan tidak semua harta perkawinan yang dapat ikut dipailitkan, karena dalam harta perkawinan tersebut ada harta bawaan serta harta perolehan yang masing-masing berdiri sendiri berdasar kan ketentuan hukum yang berlaku. (Srh).
Sumber: Facebook
0 Comments:
Please give a good comment, that good suggestion, no spam, phising, no gamling, no porn, no add link.