Plus Minus Punya Istri Orang Padang atau Orang Minang

Tulisan ini adalah Ulasan atau Balasan atas Tulisan Irwan Rinaldi Sikumbang

  • Istri adalah Belahan Jiwa Apa terjadi Sangat Berpengaruh Kepada Pasangannya
  • Istri Bisa jadi Motivator Ulung atau Sebaliknya Menjadi Mesin Pembunuh Jiwa yang akan Membuat Jiwa Mati Sedang Jasad Masih Berada di Alam Nyata
  • Sederhana dalam Bekerja dan Berkeluarga, selebihnya kuatkan Pergantungan hanya dengan Tuhan Semata, karena itu saja yang dapat Menyelamatkan Keluarga dari Kehancuran dan Ancaman Neraka.

Tulisan Kompasianer senior Tjiptadinata Effendi yang berjudul "Istri adalah Motivator Ulung bagi Suami", telah menginspirasi saya memberikan tulisan tanggapan berikut ini. Tanggapan ini bukan suatu hal yang menyangkal tulisan Uda Tjipta, tapi lebih dimaksudkan untuk memperkuat dan memperkaya, serta menambahkan dengan konteks kekinian.

Pertama, bahwa perempuan Minang pintar memasak, sehingga suami betah makan di rumah, saya kira sampai sekarang masih valid. Umumnya saat remaja, anak gadis sudah harus membantu ibunya memasak. Andaipun banyak yang malas, saat sudah berusia 20-an tahun, rata-rata dengan kesadaran sendiri mulai belajar memasak, agar saat berumah tangga bisa memasak sendiri.

Tidak semua wanita minang pandai memasak, bahkan setelah berpuluh tahun berumah tangga dan 'diajari' memasak, wanita yang bergelar istri ini selalu 99,99 % miss atau ada saja kesalahan dalam memasak, masak nasi, kalau tidak hangus, mentah atau lembik. Kalau sambal gulai kurang garam itu masih mudah, tinggal ditambah garam, tapi ini heran aneh peliknya terjadi setiap hari. Bahkan anak umur 7 tahunan masih bisa diajarkan masak dan bagus hasil masaknya.

Kedua, saya sependapat bahwa perempuan Minang secara umum lebih mandiri. Banyak yang ikut membantu berdagang atau membuka usaha sendiri. Apalagi dalam kondisi suami lagi sakit, biasanya kreativitas perempuan Minang akan muncul.
Soal mandiri ini cukup teruji. Banyak perantau yang istri bersama anak-anak ditinggal di kampung. Semua persoalan beres di tangan istri. Bahkan kalaupun istri ikut bersama di perantauan, bila anak sakit, sang suami tidak akan dibuat panik. Istri bisa membawa ke dokter, dan suami tetap di kantor atau di toko berdagang. Padahal, ada teman saya yang kebetulan bukan Minang, punya istri yang tinggal di rumah, tetap menelpon suaminya di kantor agar suami minta izin atasan untuk mengantar anak ke rumah sakit.

Soal Kemandirian ini memang cukup bukti. Tentu saja karena dia bekerja sendiri, keuangan mandiri. Tak begitu perhati kepada nasib anak belum mandi atau laki di rumah tak ada yang menemani, pulang senja atau malam hari. Datang-datang terus tak sadar diri, tak bangun walau petir menggelegar memecah langit menjunam ke bumi.

Ketiga, agak tabu bagi suami untuk ikut beres-beres urusan rumah tangga seperti menyuci piring, menyuci pakaian dan sebagainya. Artinya itu dianggap ranahnya istri dan tentu mengenakkan bagi laki-laki. Di lain pihak saya juga melihat banyak teman non Minang yang belum kuat bayar pembantu, saling membantu dalam urusan demikian.

Dalam pengasuhan anak terutamanya. Itu bukan suatu hal yang mudah. Itu Cukup Berat. Apalagi dalam jangka waktu yang lama. Bayangkan tanpa bekerja mencari nafkah, artinya khusus ngasuh anak di rumah saja sudah berat. Apalagi kalau Bagi seorang Lelaki bergelar suami, sangat tidak mudah untuk berdiam diri di rumah, mengasuh anak dalam masa yang sama harus mencari nafkah dan pencaharian tanpa bisa meninggalkan rumah. Dalam keadaan terpenjara/terkurung mengasuh anak di rumah, dalam masa yang sama harus menafkahi anak bini, mana ada kerja yang begini ...

Nah, biar berimbang, saya ingin menambahkan sisi "duka"-nya beristri perempuan Minang. Tentu ini sangat subjektif sesuai pandangan saya yang sangat sempit, dan belum tentu valid.

Pertama, menurut saya perempuan Minang tidak setelaten etnis lain, katakanlah Jawa, dalam memberi perhatian dan penghormatan pada suami. Tidak ada cium tangan suami saat suami mau berangkat ke tempat kerja. Jarang pula yang memberikan pelayanan ekstra seperti menyiapkan handuk, dan pakaian dalam saat suami mau mandi, dan juga pakaian kerja termasuk sepatu saat suami mau ke kantor.

Kedua, dalam bertutur kata, kalah mesra ketimbang etnis lain. Perempuan dalam budaya Minang yang menganut pola matrilineal memang mendapat tempat terhormat, sehingga dalam berbicara dengan laki-laki berada pada posisi sejajar. Padahal, sekadar contoh saja, kalau mendengar gadis Solo atau Neng Geulis dari Bandung bertutur kata, rasanya terdengar merdu.

Tidak heran bila salah satu pesan dari orang tua Minang saat melepas anaknya mau kuliah di Jawa (di samping jangan lupa shalat) adalah jangan terpikat dengan gadis non Minang. Soalnya orang tua Minang sangat khawatir anaknya akan klepek-klepek mendengar halusnya langgam bahasa cewek rantau.

Hal tersebut bukan berbau rasialis. Soalnya kalau perempuan Minang dapat laki-laki non Minang, asal se-iman, hayo saja. Ini lebih berkaitan dengan pola matrilineal itu tadi, anak ikut garis ibu. Anak yang lahir dari ibu non Minang, secara adat dianggap bukan orang Minang, dan otomatis tidak punya hak waris tanah adat.

Ada sedikit catatan tambahan lagi, bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, sejak dunia semakin "kecil" plus minus di atas semakin kabur. Karena perempuan di pelosok Sumatera Barat pun setiap hari nonton sinetron, bahkan sekarang apapun dapat dilihat dari internet, sehingga akhirnya budaya atau tata pergaulan perempuan Minang, termasuk dalam konteks berumah tangga, kurang lebih sama dengan saudara-saudara dari suku lain.

Demikian saja, salam hormat saya untuk Uda Tjiptadinata Effendi dan istri beliau, yang melalui tulisan-tulisannya banyak memberikan keteladanan. Teriring permohonan maaf bagi yang kurang berkenan dengan tulisan saya ini.
Yang bagian ujung saya setuju tulisan Uda Irwan Rinaldi Sikumbang. Walaupun pada dasarnya setiap suku ada kukurangan dan kelebihan, namun tetap saja, pengaruh harta dan kedudukan posisi, tidak ada peluang bagi urang sumando (pendatang) bahkan hanya untuk sekedar bersuara dalam adat matrilineal. Hal ini akan sangat besar pengaruhnya (berpengaruh sekali) terhadap bagaimana sikap seorang istri atau pun keluarganya dan orang-orang adatnya terhadap sang suami, yang merasa terhormat, jangankan merasa hormat, kalau ada sedikit menghargai aja sudah hebat (susah untuk taat pada suami).

Kesimpulannya, bagaimanapun nasib kehidupan akan tergantung yang menjalani, namanya hidup itu ujian, lain orang lain pula ujiannya, kalau kuat suami, syukurlah. Tapi setidaknya akan menderita dan merana. Ditakuti hilang iman dan kesadaran dan kesabaran. Hanya orang-orang yang HEBAT saja (yang bertahan karena mendapat penghormatan keluarga, karena kaya atau  punya kedudukan atau karena kaya misalnya. atau justru sebaliknya pandir/alias bodoh dungu, yang tak peduli hinaan cacian dari keluarga istri terutamanya padahal masih dipertahankan sebagai suami hanya sebagai pelengkap status pernikahan pasangannya. Atau sayang karena sudah ada anak dan lain sebagainya.


0 Comments:

Please give a good comment, that good suggestion, no spam, phising, no gamling, no porn, no add link.