Pendidikan Dasar 9 Tahun Konsekuensi dan Pelaksanaannya di Negara Indonesia
Ketika
anak anak kami pindah sekolah ke Jepang tidak ada diminta syarat nilai
rapor dari Indonesia, baik yang versi Indonesia atau Inggris. Padahal
kami sudah mempersiapkan semua.
Kami hanya mengisi formulir. Tidak ada tes pelajaran dan bahasa, tidak ada juga uang pangkal. Pokoknya diterima aja anak kita apa adanya. Oh pantas saja karena wajib belajar di Jepang 9 tahun (SD dan SMP). Artinya ketika usia anak adalah usia belajar maka negara wajib menerima anak itu sekolah tanpa syarat syarat tertentu kecuali umur.
Pantas saja di sini anak SD otomatis diterima di SMP terdekat rumahnya.
Ketika teman saya pindah ke Indonesia, sekolah meminta rapor yang di Jepang dan ditranslate ke bahasa Inggris. Bahkan ada yang di tes dulu, pusing ortunya.
Kasihan anak SD yang mau masuk SMP persaingannya ngak kalah berat dan ketat seperti orang dewasa mencari kerja.
Kalau wajib belajar memang 9 tahun seharusnya pemerintah menerima semua anak SD sekolah di SMP negeri terdekat rumahnya apa adanya, tanpa syarat. Masalahnya karena ada status SMP unggulan, SMP standar internasional, termasuk SMP swasta yang biayanya selangit itu yang semuanya menyaring dan menyeleksi dengan sangat ketat siswa yang akan diterima.
Kalau wajib belajar 9 tahun, menurut saya jangan dibedakan bedakan kwalitas sekolahnya. Jadi orang tua dan murid nyaman dan aman sekolah dimana saja. Kalau sekarang kan tidak, seolah olah ada sekolah bagus dan tidak. Semua orang kan inginya yang bagus. Kalau wajib belajar 9 tahun cukup kan SMP nya menampung estimasi jumlah siswa.
Jadilah sebagian ortu pusing, baperan, atau gigit jari. Padahal saya yakin sekali sekolah bukanlah jaminan kesuksesan seseorang. Belum tentu yang dulunya juara dan bintang kelas serta sekolahnya favorit kehidupannya sekarang lebih baik dibanding anak anak yang dulunya sekolah biasa biasa saja. Atau bahkan yang tidak sekolah sama sekali.
Ah saya jadi ingat Uda saya, ngak tamat SMP, tapi bisa jadi ketua organisasi yang anggotanya ribuan di Jakarta. Assetnya jauh lebih banyak dibanding adiknya yang sudah sekolah sampai ke puncak. Cara berfikir nya juga ngak jongkok2 banget, karena walau tidak tamat SMP beliau suka membaca buku dan berlangganan koran.
Kami hanya mengisi formulir. Tidak ada tes pelajaran dan bahasa, tidak ada juga uang pangkal. Pokoknya diterima aja anak kita apa adanya. Oh pantas saja karena wajib belajar di Jepang 9 tahun (SD dan SMP). Artinya ketika usia anak adalah usia belajar maka negara wajib menerima anak itu sekolah tanpa syarat syarat tertentu kecuali umur.
Pantas saja di sini anak SD otomatis diterima di SMP terdekat rumahnya.
Ketika teman saya pindah ke Indonesia, sekolah meminta rapor yang di Jepang dan ditranslate ke bahasa Inggris. Bahkan ada yang di tes dulu, pusing ortunya.
Kasihan anak SD yang mau masuk SMP persaingannya ngak kalah berat dan ketat seperti orang dewasa mencari kerja.
Kalau wajib belajar memang 9 tahun seharusnya pemerintah menerima semua anak SD sekolah di SMP negeri terdekat rumahnya apa adanya, tanpa syarat. Masalahnya karena ada status SMP unggulan, SMP standar internasional, termasuk SMP swasta yang biayanya selangit itu yang semuanya menyaring dan menyeleksi dengan sangat ketat siswa yang akan diterima.
Kalau wajib belajar 9 tahun, menurut saya jangan dibedakan bedakan kwalitas sekolahnya. Jadi orang tua dan murid nyaman dan aman sekolah dimana saja. Kalau sekarang kan tidak, seolah olah ada sekolah bagus dan tidak. Semua orang kan inginya yang bagus. Kalau wajib belajar 9 tahun cukup kan SMP nya menampung estimasi jumlah siswa.
Jadilah sebagian ortu pusing, baperan, atau gigit jari. Padahal saya yakin sekali sekolah bukanlah jaminan kesuksesan seseorang. Belum tentu yang dulunya juara dan bintang kelas serta sekolahnya favorit kehidupannya sekarang lebih baik dibanding anak anak yang dulunya sekolah biasa biasa saja. Atau bahkan yang tidak sekolah sama sekali.
Ah saya jadi ingat Uda saya, ngak tamat SMP, tapi bisa jadi ketua organisasi yang anggotanya ribuan di Jakarta. Assetnya jauh lebih banyak dibanding adiknya yang sudah sekolah sampai ke puncak. Cara berfikir nya juga ngak jongkok2 banget, karena walau tidak tamat SMP beliau suka membaca buku dan berlangganan koran.
0 Comments:
Please give a good comment, that good suggestion, no spam, phising, no gamling, no porn, no add link.