Inilah Hukuman Bagi Pem3rkosa di Aceh NAD
Hukuman bagi Pem3rkosa di Aceh
Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.
Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa kasus kekerasan s3ksual yang terjadi akhir-akhir ini marak di Indonesia dimana korbannya termasuk anak sebagai DARURAT KEKERASAN s3ksUAL. Secara nasional telah mulai digagas Perpu dengan pemberatan hukuman hingga 20 tahun. Ada juga ide pengkebirian, pemakaian chip yang sedang di godok.
Saat ini, untuk kasus anak, penegak hukum selalu menggunakan Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini juga akan digunakan oleh Polda Aceh terhadap Pem3rkosa terhadap anak yang terungkap baru-baru ini. Polisi dalam keterangan kepada media akan membidik tersangka Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ancaman hukumannya 15 tahun dan denda Rp 5 miliar.
Namun tahukah Anda?
Di Aceh ternyata ada peraturan perundang-undangan lain yang dapat menjerat Pem3rkosa terhadap anak, yakni Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayat.
Pasal 1 (30) menyebutkan: Pem3rkosaan adalah hubungan s3ksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.
Khusus untuk anak, maka Uqubat (hukuman) yang dapat dibidik kepada pelaku sesuai dengan Pasal 50 yang berbunyi:
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pem3rkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak-diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan.
Dari sisi hukum, pengadilan manakah yang seharusnya mengadili kasus pem3rkosaan anak di Aceh.
Maka sesuai dengan kekhususan Aceh yang diberikan oleh pemerintah, termasuk kewenangan menjalankan Mahkamah Syariyah bidang Jinayat.
Argumentasi ini diperkuat dengan adanya SK Mahkamah Agung - KMA70/SK/X/2004 tentang dari pelimpahan sebagian kewenangan peradilan umum kepada Mahkamah Syar'yah.
Pasal 1: Melimpahkan sebagian kewenangan dan Peradilan Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Syari'ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perkara-perkara Muamalah bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 2: Melimpahkan sebagian kewenangan dan Peradilan Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Syari'ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perkara-
perkara Jinayah bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan dalam Oanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Argumentasi lainnya adalah berdasarkan Pasal 52 Qanun Aceh No 6 tahun 2014 tentang Jinayat yang mengatur kewajiban penyidik terhadap kasus pem3rkosaan.
Pasal 52
(1) Setiap Orang yang mengaku dip3rkosa dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik tentang orang yang pemp3rkosanya dengan menyertakan alat bukti permulaan.
(2) Setiap diketahui adanya Jarimah Pem3rkosaan, penyidik berkewajiban melakukan penyelidikan untuk menemukan alat bukti permulaan.
(3) Dalam hal penyidik menemukan alat bukti tetapi tidak memadai, orang yang mengaku dip3rkosa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan sumpah sebagai
alat bukti tambahan untuk menyempurnakannya.
(4) Penyidik dan jaksa penuntut umum meneruskan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dengan bukti permulaan serta pernyataan kesediaan orang yang mengaku dip3rkosa untuk bersumpah di depan Hakim.
Dengan demikian, untuk Aceh, maka yang berwenang mengadili kasus pem3rkosaan adalah Mahkamah Syar'iyah bukan lagi peradilan lain.
Alasan-alasan diatas juga menunjukkan, seharusnya aparat penegak hukum juga mempertimbangkan bahwa kasus pem3rkosaan anak yang terjadi ini dengan berani menerapkan Qanun Aceh 6/2014 yang memang telah dinyatakan berlaku sejak 23 Oktober 2015.
Wallahu'alam.
Sumber : Tengkuampon
Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.
Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa kasus kekerasan s3ksual yang terjadi akhir-akhir ini marak di Indonesia dimana korbannya termasuk anak sebagai DARURAT KEKERASAN s3ksUAL. Secara nasional telah mulai digagas Perpu dengan pemberatan hukuman hingga 20 tahun. Ada juga ide pengkebirian, pemakaian chip yang sedang di godok.
Saat ini, untuk kasus anak, penegak hukum selalu menggunakan Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini juga akan digunakan oleh Polda Aceh terhadap Pem3rkosa terhadap anak yang terungkap baru-baru ini. Polisi dalam keterangan kepada media akan membidik tersangka Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ancaman hukumannya 15 tahun dan denda Rp 5 miliar.
Namun tahukah Anda?
Di Aceh ternyata ada peraturan perundang-undangan lain yang dapat menjerat Pem3rkosa terhadap anak, yakni Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayat.
Pasal 1 (30) menyebutkan: Pem3rkosaan adalah hubungan s3ksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.
Khusus untuk anak, maka Uqubat (hukuman) yang dapat dibidik kepada pelaku sesuai dengan Pasal 50 yang berbunyi:
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pem3rkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap anak-diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan.
Dari sisi hukum, pengadilan manakah yang seharusnya mengadili kasus pem3rkosaan anak di Aceh.
Maka sesuai dengan kekhususan Aceh yang diberikan oleh pemerintah, termasuk kewenangan menjalankan Mahkamah Syariyah bidang Jinayat.
Argumentasi ini diperkuat dengan adanya SK Mahkamah Agung - KMA70/SK/X/2004 tentang dari pelimpahan sebagian kewenangan peradilan umum kepada Mahkamah Syar'yah.
Pasal 1: Melimpahkan sebagian kewenangan dan Peradilan Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Syari'ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perkara-perkara Muamalah bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 2: Melimpahkan sebagian kewenangan dan Peradilan Umum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kepada Mahkamah Syari'ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perkara-
perkara Jinayah bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan dalam Oanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Argumentasi lainnya adalah berdasarkan Pasal 52 Qanun Aceh No 6 tahun 2014 tentang Jinayat yang mengatur kewajiban penyidik terhadap kasus pem3rkosaan.
Pasal 52
(1) Setiap Orang yang mengaku dip3rkosa dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik tentang orang yang pemp3rkosanya dengan menyertakan alat bukti permulaan.
(2) Setiap diketahui adanya Jarimah Pem3rkosaan, penyidik berkewajiban melakukan penyelidikan untuk menemukan alat bukti permulaan.
(3) Dalam hal penyidik menemukan alat bukti tetapi tidak memadai, orang yang mengaku dip3rkosa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan sumpah sebagai
alat bukti tambahan untuk menyempurnakannya.
(4) Penyidik dan jaksa penuntut umum meneruskan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dengan bukti permulaan serta pernyataan kesediaan orang yang mengaku dip3rkosa untuk bersumpah di depan Hakim.
Dengan demikian, untuk Aceh, maka yang berwenang mengadili kasus pem3rkosaan adalah Mahkamah Syar'iyah bukan lagi peradilan lain.
Alasan-alasan diatas juga menunjukkan, seharusnya aparat penegak hukum juga mempertimbangkan bahwa kasus pem3rkosaan anak yang terjadi ini dengan berani menerapkan Qanun Aceh 6/2014 yang memang telah dinyatakan berlaku sejak 23 Oktober 2015.
Wallahu'alam.
Sumber : Tengkuampon
0 Comments:
Please give a good comment, that good suggestion, no spam, phising, no gamling, no porn, no add link.